
Kacang Mete: Komoditas Potensial di Lahan Marginal
Repost - kompas.com
Kuntoro Boga Andri : Kepala Pusat BSIP Perkebunan, Kementerian Pertanian
KACANG mete (Anacardium occidentale), atau yang dikenal sebagai jambu monyet di beberapa daerah, adalah tanaman perkebunan strategis yang sangat cocok untuk dikembangkan di lahan marginal yang sering dianggap kurang produktif. Selain itu, kacang mete memiliki nilai tambah yang tinggi melalui diversifikasi produk seperti kacang olahan, sirup, hingga minyak CNSL (Cashew Nut Shell Liquid) yang digunakan dalam berbagai industri.
Penanganan yang tepat, mulai dari penggunaan varietas unggul hingga teknologi pascapanen modern dapat meningkatkan produktivitas dan nilai ekspor mete. Tanaman Kacang Mete memiliki adaptabilitas tinggi terhadap kondisi lingkungan yang kurang ideal. Tanaman ini mampu tumbuh dengan baik di daerah dengan curah hujan rendah hingga sedang (500–1.500 mm/tahun) karena sistem perakarannya yang dalam memungkinkan penyerapan air dari lapisan tanah lebih dalam, menjadikannya tahan terhadap kekeringan.
Kemampuan beradaptasi pada tanah dengan pH antara 6,3–7,3 juga menjadikannya ideal untuk lahan marginal. Selain itu, kacang mete dapat bertahan di tanah dengan kesuburan rendah, seperti tanah berpasir, tanah berbatu, atau tanah bertekstur ringan. Ketahanan terhadap kadar garam yang moderat juga membuat mete ideal untuk lahan pesisir atau tanah dengan salinitas tinggi.
Perawatan tanaman ini relatif mudah dan membutuhkan biaya rendah, sehingga sangat cocok bagi petani dengan sumber daya terbatas. Dengan usia produktif mencapai 30–50 tahun, mete memberikan keuntungan ekonomi jangka panjang yang signifikan. Di Indonesia, kacang mete banyak dikembangkan di berbagai wilayah dengan lahan marginal yang memiliki potensi besar untuk pengembangan tanaman ini. Menurut data Badan Pusat Statistik, luas lahan kacang mete di Indonesia mencapai 573.000 hektare pada 2024, tersebar di 21 provinsi.
Wilayah utama pengembangan mete meliputi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, dan Jawa Timur, dengan Sulawesi Tenggara memberikan kontribusi produksi terbesar, mencapai 24,85 persen total produksi nasional.
Selain itu, NTT mencatat luas penanaman hingga 167.209 hektare dengan produksi mencapai 52.539 ton. Dengan berbagai keunggulan tersebut, mete menjadi solusi optimal dalam memanfaatkan lahan berproduktifitas rendah dan memberikan kontribusi signifikan bagi sektor perkebunan serta perekonomian nasional melalui ekspor.
Produk Turunan dan Potensi Nilai Tambah
Menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Indonesia memproduksi sekitar 156.000 ton kacang mete gelondongan per tahun. Sebagian besar mete diekspor dalam bentuk gelondongan ke negara-negara seperti India dan Vietnam, yang merupakan produsen utama kacang mete di pasar global. Nilai ekspor mete Indonesia sangat fluktuatif, sementara pada 2023 tercatat sebesar 51,6 juta dollar AS (sekitar Rp 844 Millliar) menjadikan kacang mete sebagai salah satu penyumbang devisa negara dari sektor perkebunan.
Sayangnya, ekspor dalam bentuk mentah mengurangi potensi nilai tambah hingga mencapai Rp 2,9 triliun per tahun, yang dapat diperoleh jika melalui pengolahan menjadi produk bernilai tinggi. Produk turunan kacang mete sangat beragam dan memiliki nilai ekonomi tinggi, menjadikannya komoditas potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Salah satu produk utama adalah kacang mete olahan yang hadir dalam berbagai varian, seperti roasted, salted, dan honey-glazed cashews, yang sangat diminati, baik di pasar lokal maupun internasional.
Minyak mete juga merupakan produk bernilai tambah yang digunakan dalam industri kosmetik dan makanan, menambah diversifikasi penggunaan mete. Di sektor pangan, kacang mete diolah menjadi berbagai produk seperti granola, camilan sehat, dan makanan siap saji berbasis mete yang semakin populer di pasar global.
Selain itu, terdapat Cashew Nut Shell Liquid (CNSL), yaitu cairan yang diekstrak dari kulit mete. CNSL memiliki aplikasi luas dalam industri CNSL memiliki potensi pasar yang luas karena penggunaannya di berbagai industri, otomotif, seperti pembuatan kampas rem dan pelumas, serta dalam industri kimia untuk pembuatan vernis dan tinta.
Sayangnya, peluang ini belum dimanfaatkan secara maksimal. Sebagian besar petani mete di Indonesia masih menjual hasil panennya dalam bentuk gelondongan tanpa diolah lebih lanjut, sehingga nilai tambah yang bisa diraih menjadi terbatas. Dengan pengembangan teknologi pengolahan dan peningkatan kapasitas industri hilir, produk turunan kacang mete berpotensi memberikan kontribusi yang lebih besar bagi perekonomian nasional sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Peluang Pengembangan
Pengembangan mete di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan. Produktivitas mete rata-rata hanya mencapai 700–800 kg per hektare, jauh lebih rendah dibandingkan negara pesaing seperti Vietnam dan India. Ketergantungan pada ekspor dalam bentuk gelondongan mengurangi nilai tambah yang seharusnya dapat dinikmati oleh petani dan industri lokal.
Selain itu, keterbatasan infrastruktur dan teknologi, terutama di sentra produksi terpencil, menghambat akses ke pasar. Minimnya konsumsi domestik juga menjadi kendala, karena pasar dalam negeri untuk kacang mete masih kurang berkembang. Untuk mengatasi tantangan ini dan mengoptimalkan potensi kacang mete, sejumlah langkah strategis perlu dilakukan. Peningkatan produktivitas dapat dicapai melalui penggunaan varietas unggul dan pelatihan bagi petani.
BSIP Perkebunan, Kementan melalui Balai Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (dulu Balittri) telah merilis lima varietas unggul jambu mete, yaitu GG-1 yang spesifik untuk wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan karakter gelondong kecil, rasa gurih, dan hasil buah yang lebat. MR-851 dan PK-36 yang spesifik untuk wilayah Sulawesi Selatan, memiliki gelondong berukuran sedang dengan rasa agak gurih. SM-9 dan BO-2 yang spesifik untuk wilayah Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan gelondong berukuran besar dan rasa tawar.
Untuk memenuhi kebutuhan pengembangan dalam skala yang lebih luas, masih diperlukan pembangunan kebun-kebun induk benih Blok Penghasil Tinggi (BPT) di setiap sentra produksi. Pengembangan industri pengolahan perlu didorong untuk meningkatkan kapasitas lokal dalam memproduksi produk bernilai tambah.
Pemerintah juga dapat berperan melalui subsidi dan insentif untuk mendukung investasi di sektor teknologi dan infrastruktur. Selain itu, promosi pasar domestik melalui kampanye konsumsi mete sebagai produk sehat dan bernutrisi akan memperluas pangsa pasar dalam negeri sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap manfaat kacang mete. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat memanfaatkan potensi kacang mete secara maksimal, baik untuk pasar domestik maupun internasional.